Menafsir Kesementaraan dalam “Homage to the Blackboards”

Seniman-perupa Ugo Untoro dalam live exhibition “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” di Museum dan Tanah Liat, Sabtu (26/9). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, HUMANISMA – Suatu ketika setengah bercanda saya bicara pada kawan seniman-perupa untuk memotret dirinya saat sedang membuat karya. Kawan tersebut menjawab singkat, “Bisa saja, tapi saya biasa berproses karya saat malam hari. Sendiri. Dan tidak ada perbincangan. Ada orang ndak masalah, haya tidak mau diganggu dengan obrolan. Harus konsentrasi. Bagaimana?”

Meskipun hanya iseng-iseng, sebenarnya keinginan saya untuk memotret seniman saat berproses kreatif –di dalam studio- sudah lama ada dalam benak saya. Namun saya juga menyadari bahwa untuk keperluan tersebut tentu banyak pertimbangan yang harus saya pikirkan, setidaknya saya tidak mau menggangu konsentrasi-fokus, sebuah wilayah privasi dalam proses kreatif yang harus saya jaga dan hormati. Sampai saat ini untuk keperluan tersebut saya belum pernah memotret pada satu seniman pun. Hanya sampai sebatas keinginan.

Hingga beberapa hari lalu sebuah pesan dalam Whatsapp masuk, seniman-perupa Ugo Untoro akan pameran tunggal yang disiarkan secara live melalui aplikasi zoom. Tentu ini peristiwa yang tidak boleh saya lewatkan setelah keinginan saya di atas belum pernah terlaksana. Keinginan saya –untuk mendokumentasikan proses kreatif secara langsung- dengan pameran tunggal Ugo tidaklah berhubungan. Hanya sebuah kebetulan semata. Bagi saya ini seolah menjadi de javu.

Ugo mengamati karya #2 yang sudah selesai.

Dengan mengangkat tajuk “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” dimana Ugo mencoba membingkai dengan ‘kesementaraan’ dalam laku kreatifnya dan menjadikan papan tulis sebagai medium untuk mewakili sifat kesementaraan tersebut.

Dari awal saya pribadi melihat banyak kesementaraan yang terjadi dalam proses Ugo tersebut, tidak semata-mata pada pilihan medium karya yang sangat mudah ‘menghapus’ visual karya yang sudah jadi.

Pameran livePenghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” dimulai pada pukul 14.00 WIB, Sabtu (26/9) di Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan berlangsung hingga Minggu (27/9) pukul 00.00 WIB. Dalam pameran tersebut, Ugo secara langsung membuat drawing-lukisan sebanyak sepuluh buah dalam medium kapur di atas papan tulis dan disiarkan kepada publik secara langsung.

Saat pameran live berlangsung, selama satu jam pertama saya benar-benar mengikutinya untuk menikmatinya secara mengalir. Tidak pernah sebelumnya saya menanyakan pada Ugo bagaimana konsepnya. Saya mencoba membiarkan imajinasi sendiri: Ugo melukis pada sebuah papan tulis dengan material kapur selama 10 jam. Satu karya lukisan selesai, dibiarkan sejenak, setelah itu dihapus untuk membuat lukisan baru pada papan tulis tersebut.

Masih dalam imajinasi saya saat menyaksikan pameran live yang terus berjalan, pada satu jam pertama tiga lukisan tercipta. Bayangan saya saat itu, tiga lukisan Ugo tersebut hanya diarsip-dokumentasikan dalam bentuk visual foto dan video.

Setelah tiga lukisan selesai, segera saya meluncur ke Museum dan Tanah Liat tempat Ugo melakukan pameran live-nya.

“Kalaupun ada sedikit sambungan dengan presentasi sebelumnya (dari pameran tunggal Ugo bertajuk Rindu Lukisan Merasuk di Badan), itu ada di beberapa karya series Sleeping Budha. Lebih pada tema kesementaraannya. Yang lainnya, ini eksperimen baru.” jelas Ugo saat jeda pada karya #5.

Saat itu untuk mendukung pameran live, MDTL berubah menjadi studio mini untuk mendukung pengambilan scene pada masing-masing scene karya: pencahayaan, tata suara, studio backstage dengan beberapa laptop-server yang tersambung jaringan internet untuk merekam seluruh peristiwa sekaligus editing on the spots untuk keperluan live exhibition. Selebihnya, clear area untuk pengambilan gambar dalam tata ruang sebagaimana sebuah studio seni rupa: medium kanvas yang digantikan dengan papan tulis, kapur, penghapus, meja kecil untuk menaruh material lainnya termasuk secangkir minuman, serta bangku untuk mengamati sejenak karya yang sedang dalam proses pengerjaan.

Properti pendukung.

Sebagai sebuah ruang eksperimen, live exhibition “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” cukup memberikan tawaran segar dengan melibatkan multidisiplin: seni rupa, pertunjukan, media rekam, hingga pemanfaatan teknologi IT sebagai salah satu pendukung utamanya. Tanpa dukungan teknologi IT, live exhibition tidak mungkin menjadi sajian sebuah live exhibition multimedia. Dan menariknya, kesemuanya tersebut berlangsung dalam lintasan masa secara langsung. Tentu akan berbeda ketika hal tersebut ditayangkan secara tunda ataupun dibuat menjadi konten karya videografi yang hanya membekukan perisitiwa dan berubah menjadi “hanya” arsip-dokumentasi yang bisa diputarulang tanpa memperhatikan dinamika yang berlangsung.

Menghadirkan kesementaraan dalam tafsir yang beragam

Yang tidak kalah menarik adalah dinamika yang berkembang baik selama maupun setelah pameran live berlangsung. Mengaitkan isu kesementaraan dengan pilihan medium papan tulis dan kapur, dari medium-material yang dipilihnya dengan sifatnya yang sangat mudah rusak, menurut Ugo kesementaraan tersebut sudah cukup terwakili.

Awalnya saya membayangkan bahwa Ugo akan membuat karya dalam medium kapur di atas papan tulis yang sama. Setelah karya selesai, dihapus untuk digunakan membuat karya yang baru. Begitu seterusnya hingga 10 karya selesai.

“Dari sepuluh karya tersebut, kesemuanya dibuat pada papan tulis yang berbeda.” jelas Ugo saat saya temui di MDTL, Sabtu (26/9) sore saat jeda pada karya #5.

Setting studio untuk live exhibition.

Dengan tajuk dan format yang ditawarkan, tak urung imajinasi proses kreatif seperti yang saya bayangkan pun dialami oleh penonton lainnya. Ini menarik ketika tawaran ide sudah memantik dinamika sejak awal. Bukan sebuah jebakan. Namun bagaimana audiens diberikan kebebasan sejak dari awal. Dinamika yang berlangsung (selama dan setelah pameran live) itu adalah hal lain lagi.

Pembacaan pada pameran live “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” pun bisa beragam. Ditayangkan secara langsung, peristiwa pameran tersebut menjadi semacam seni kejadian (performance art) dimana audiens bisa turut merasakan langsung tentunya dengan suasana yang berbeda. Alihmedia seni yang digunakan tidak sekedar dalam medium-material karya saja namun telah bercampur dengan media-media lain termasuk dalam teknik yang digunakan.

Lantas dimanakah ‘kesementaraan’ yang ditawarkan? Di sinilah bisa muncul tafsir yang beragam. Setidaknya seniman-perupa Syarizal Pahlevi memberikan catatan selama-setelah pameran live berlangsung.

Dalam akun facebook-nya Levi menuliskan catatan: “…,menonton Zoom ‘Penghormatan Kepada Papan Tulis’ berupa aksi Ugo Untoro menggarap 10 papan tulis kosong dengan gambar-gambar bermedia kapur tulis sebenarnya menarik. Menarik bagaimana Ugo mensiasati hitamnya papan dan bermain penghapus. Gambar-gambarnya khas, figur-figur tinggi kurus, bidang-bidang kosong, garis-garis ritmis. Dari prolog undangan dituliskan kapur dan papan tulis digunakan untuk menyampaikan makna ‘kesementaraan’ karena image-image/teks di papan tulis biasanya akan dihapus untuk menorehkan image/teks baru. Tapi sampai layar zoom ditutup serasa ada yang kurang. Sepertinya Ugo merasa sayang menghapus gambar yang sudah ia buat dan menolak hakekat papan tulis itu sendiri. Drama yang ditunggu dari sebuah seni pertunjukan tidak ada dan menjadi antiklimaks. Lalu untuk apa bicara ‘kesementaraan’? Sekedar kegenitan konsep? Atau saya yang terlalu berharap?.”

Jeda sejenak sambil mengamati karya #5 yang masih dalam progres.

Selain Levi, respons yang berbeda juga dilontarkan seniman-perupa lainnya. Di sinilah sebuah peristiwa seni bisa menjadi pemantik dinamika multi-arah. Atas respons Pahlevi, Ugo memberikan penjelasan bahwa kesementaraan itu bisa bersumber dari banyak hal medium-material, tema, bahasa visual, hingga hal teknis menghapus karya yang sudah jadi.

“Kalau saya paksakan untuk menghapus, sementara gambar sudah pas, menurut saya justru itu yang menjadi kegenitan. Dan memang beberapa orang mengharap peristiwa hapus lukis lagi, hapus lukis lagi. Tapi bukan di situ kesementaraan menurut saya. Medianya sendiri sudah bicara banyak hal tentang kesementaraan. Jadi ia akan terhapus, dihapus suatu saat entah sengaja atau tdk sengaja, juga bukan rasa sayang pada gambar. Kalau alasannya untuk itu saya tidak akan memakai material-medium ini.” papar Ugo.

Ugo menambahkan live exhibition ini tidak diniatkan untuk perform dengan narasi yang bisa melibatkan emosi audiens.

“Makanya saya menolak untuk mengawaetkan karya-karya tersebut dengan cara atau bahan apapun. Papan tulis dan kapur sudah bicara banyak hal tentang kesementaraan itu.” pungkas Ugo.

Bukan dimaksudkan untuk sebuah performance art, namun peristiwa live exhibition “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” -suka ataupun tidak- telah berubah wujud menjadi sebuah seni kejadian yang cukup segar dengan dinamika yang berkembang didalamnya. Adanya tafsir yang beragam, kekurangan di sana-sini, respons bahkan resistensi yang muncul, juga dinamika lainnya menjadi satu kesatuan dari karya tersebut. Bahkan kesalahan-kesalahan yang muncul baik yang disengaja ataupun tidak menjadi bagian dari seni kejadian itu sendiri.

Jeda sejenak sambil mengamati karya #5 yang masih dalam progres.

Dengan penyajian karya dan ditayangkan secara langsung dalam durasi-rentang waktu tertentu, live exhibition “Penghormatan pada Papan Tulis ~ Homage to the Blackboards” seolah mengubah wujud karya-karya yang disajikan ke dalam karya-karya berbasis waktu (time based art) secara keseluruhan. Ketika karya tersebut selesai dipresentasikan maka secara keseluruhan pun karya tersebut telah selesai. Sebuah eksperimen yang menarik.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑