Wahai Seniman-Perupa. Menulislah…..

Puji Qomariyah *)

Dalam sebuah obrolan santai beberapa waktu yang lalu seorang seniman-perupa menceritakan kegelisahannya pada seniman muda yang dianggapnya ahistoris. Dia merasa seniman-perupa muda hari ini begitu mekanis dalam berproses kesenian.

Lanjutkan membaca “Wahai Seniman-Perupa. Menulislah…..”

Tetumbuhan dan Tradisi Jawa *)

Apa yang ada dalam pikiran kita saat menyebut Ringinrejo, Sumberringin, Kedungringin, ataupun Ringinharjo, nama-nama desa yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta? Paling mudah tentu sebuah kawasan desa yang banyak ditumbuhi tanaman beringin (”Ficus benyamina”) atau masyarakat Jawa kerap menyebutnya ringin atau wringin.

Lanjutkan membaca “Tetumbuhan dan Tradisi Jawa *)”

Kegiatan Luar Ruangan, Sungai, dan Risiko yang Mengintai

Sungai Oya dari Puncak Becici, Kebun Buah Mangunan, Dlingo. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

YOGYAKARTA, HUMANISMA – Musibah yang dialami oleh rombongan pelajar SMP N 1 Turi Sleman saat mengikuti latihan pramuka pada Februari 2020 dengan kegiatan susur sungai menyisakan cerita yang menyesakkan dada. Latihan yang dimaksudkan untuk mengenalkan alam dan lingkungannya, tanpa persiapan dan pemahaman yang mencukupi justru berujung pada tragedi yang memilukan.

Lanjutkan membaca “Kegiatan Luar Ruangan, Sungai, dan Risiko yang Mengintai”

Pohon sebagai Rumah Singgah Satwa Burung

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi

Pada bulan-bulan tertentu, dahan-dahan jajaran pohon asam jawa (“Tamarindus indica“) di sepanjang Jalan Setiabudi di daerah Srondol, Semarang, dihiasi burung-burung bangau warna putih (“Egretta sp”) yang bertengger pada sarangnya. Pada saat itu sebenarnya sekawanan bangau sedang melakukan migrasi untuk menuju daerah perburuan makanan dan menjadikan pohon asam di jalan tersebut sebagai tempat singgah sementara (transit) sebelum melanjutkan ke daerah perburuan makanan.

Selengkapnya…

Pagar setinggi 1 meter

Oleh : Puji Qomariyah

Pertama kali tinggal di Yogyakarta tahun 1993, ada satu hal cukup menarik perhatian saya. Pagar tembok setinggi satu meter yang mengelilingi rumah dan saling menyambung dengan rumah sebelah menyebelah tanpa ada pintu gerbang yang berada di sekitar Jalan Jacaranda (Sekip), di Perum. Banteng (sekitar pondok mahasiswa Budi Mulia), di daerah Sariharjo-Ngaglik (pemukiman di sekitar LSM Dian Desa). Atau di dukuh Mejing (Ambarketawang) saat ini masih banyak terdapat beberapa rumah dalam satu lingkup tembok. Tembok dibangun dalam bentuk yang seragam, dicat dengan kapur warna putih. Biasanya tembok tersebut berbatasan langsung dengan jalan kampung selebar 3-4 meteran. Pemandangan tersebut ternyata merupakan hal yang biasa di kampung-kampung di Yogyakarta.

Selengkapnya…

Sedekah Bumi, Ruang Publik untuk Berbagi

Mengarak gunungan sayur-buah dan wayang Gaga mengelilingi Desa Sekararum, Sumber-Rembang. (Foto: official doc. kolektif Hysteria)

Oleh : Puji Qomariyah

Tidak ada catatan pasti kapan dimulai budaya sedekah bumi ataupun sedekah laut. Dalam struktur masyarakat agraris-maritim, di masa lalu budaya tersebut menjadi ritual penting bagi masyarakat sebagai bentuk kepasrahan dalam bekerja agar mendapatkan berkah dan keselamatan dari penguasa bumi-lautan pada masa-masa berikutnya. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka melakukan sedekah bagi bumi: ibu yang telah memberikan kehidupan dan menghidupinya.

Selengkapnya…

Pit Onthel, silakan parkir

Bagi masyarakat di Yogyakarta, sepeda (“pit onthel”) hingga medio tahun 1980-an adalah moda transportasi yang dapat diandalkan selain andhong. Mudah, murah, praktis, hemat BBM, bebas polusi. Yang pasti, pit onthel mampu menjangkau berbagai pelosok termasuk gang-gang sempit. Hingga akhir tahun 1980-an, Yogyakarta masih menyandang predikat kota sepeda karena mobilitas sebagian masyarakatnya masih mengandalkan sepeda terlebih masyarakat pedesaan yang beraktivitas ke kota Yogyakarta.

Selengkapnya…

1.5 – 2 kilometer/tahun

Di Yogyakarta terdapat daerah aliran sungai (DAS) Progo dan Opak yang menjadi muara semisal sungai Code, Winongo, Gajahwong, Bedog, dan Oyo yang melewati Yogyakarta. Untuk dapat berfungsi secara optimal dalam menyediakan air bersih, menjadi daerah resapan air, mengurangi erosi tanah, atau menjaga stabilitas iklim mikro, suatu DAS harus memiliki daerah resapan air berupa penutupan dengan vegetasi/pohon minimal seluas 30% dari luas total DAS tersebut. Dengan luas minimal itu DAS masih mampu menjalankan fungsi tata air baik yang diserap dan disimpan ke dalam tanah maupun yang menjadi air permukaan.

Selengkapnya…

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑